Minggu, 25 April 2010

MENANGANI GELANDANGAN YANG MANUSIAWI

Oleh : Bina Febrianto
(Kasi Tranmas Satpol PP Kab.Karanganyar)

Bila anda sekalian sedang di jalan atau di tempat perbelanjaan, pasar, taman, perempatan jalan, lampu lalu lintas atau dimana saja dan kebetulan melihat pria atau wanita berpakaian compang-camping, rambut acak acakan tak beraturan, gimbal ala ”bob marley”, dengan bau yang tak sedap, serta perlaku yang agak aneh berbicara ngelantur, atau malah agak agresif, tentunya pemandangan demikian tak sedap bagi mata kita, bahkan bagi sebagian orang menjijikkan dan menakutkan karena bisa jadi mengancam keselamatannya. Nah, siapakah sebenarnya mereka itu? Mereka adalah para gelandangan atau ada yang menyebut juga sebagai orang terlantar yang biasanya kita temui di jalanan. Apakah kemudian gelandangan yang ada di jalanan tersebut, pasti gila atau sakit ingatan atau ala srimulat disebut ”gerah polo”? Wah, jangan buru-buru untuk melakukan vonis yang demikian, meskipun fakta di lapangan sebagai besar dari mereka memang demikian, tetapi kita tidak bisa menyatakan 100% dari mereka gila. Stadium atau grade atau tingkatan keparahan yang barangkali akan membedakannya.

Problematika sosial, berupa gelandangan merupakan masalah yang meluas, dan hampir semua kabupaten/kota di Indonesia mengalaminya. Sekalipun beberapa Satuan Kerja telah beupaya untuk menanggulanginya, tetapi masih saja dijumpai keberadaannya. Barangkali saja, akan menghilang untuk sementara, apabila akan ada kunjungan pejabat negara, tamu negara, atau akan ada penilaian untuk even tertentu seperti penilaian Adipura. Beberapa waktu kemudian, mereka akan muncul lagi dan mulai berkeliaran lagi. Mereka mempunyai mobilitas yang cukup tinggi. Bila suatu saat ia ada di jalan A, misalnya, maka beberapa saat kemudian ia sudah pindah di jalan B. Mobilitas yang cukup tinggi inilah, yang memunculkan kesan adanya pemindahan atau lempar-lemparan gelandangan antar Kabupaten/Kota. Meskipun tidak dapat dipungkiri kejadian tersebut sering terjadi beberapa tahun yang lalu.

Bila kita sepakat bahwa para gelandangan tersebut mengganggu dan merupakan masalah yang harus ditanggulangi, maka kebersamaan menjadi modal awal untuk menanggulanginya. Bersama, antara pemerintah (kabupaten/kota, propinsi, pusat) dan masyarakat luas (termasuk LSM, yayasan sosial/keagamaan) menanggulangi masalah tersebut. Mereka adalah makluk Tuhan juga, yang bisa jadi sedang tidak beruntung. Ketertiban umum sebagai dalih utama penanggulangan para gelandangan, hanya sebagai pintu masuk untuk tahapan berikutnya. Langkah selanjutnya harus ditempuh. Penyembuhan dan pengembalian kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat merupakan tahapan penting yang harus dirancang dan ditata dengan baik. Agar keterpurukan mereka secara sosial, ekonomi, harga diri, dan martabat mereka sebagai manusia yang utuh dapat dipulihkan.

Seringkali, fenomena pemecahan masalah gelandangan hanya dilihat secara sepotong-sepotong. Ada petugas Satpol PP yang menyeret dan memaksa mereka untuk diangkut ke mobil. Seolah-olah mereka ”sampah” yang hendak diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah. Iba dan rasa kasihan terhadap merekapun muncul. Tetapi, apakah yang terjadi demikian? Satuan Polisi Pamong Praja Karanganyar, misalnya, menangani masalah gelandangan ini dengan cara yang cukup manusiawi.

Pada setiap operasi yang dilaksanakan para petugas ini menyusuri berbagai sudut kota yang mungkin ada geladangannya. Biasanya mereka berjalan di jalanan, emperan toko, pasar, taman kota, atau dimana saja mereka nyaman untuk tinggal. Yang pasti petugas yang dipilih untuk mengendus keberadaan mereka sudah terbiasa dan berpengalaman. Jangan heran bila di tangan mereka yang sudah berpengalaman ini, para gelandangan (khususnya yang ”gila”) menjadi manut dan lulut tanpa ada perlawanan. Meski demikian tidak boleh disimpulkan bahwa petugas ini pernah menjadi bagian dari mereka ini, sehingga kok begitu manutnya.

Beginilah gambar-gambar di bawah ini memvisualkan kejadian-kejadian yang seringkali di lakukan oleh Satpol PP. Nah, gelandangan yang cewek ini mengaku bernama maya. Tapi jangan keburu berfikir bahwa ini Maia Ahmad mantan istrinya Dani Dewa yang stres karena perceraiannya. Bukan, bukan itu. Ia bisa mengaku Maya, Luna, Yuni, KD, atau siapa saja. Wong namanya nggak 100% pikirannya. Persoalannya bukan di pengakuannya, tetapi bila pengakuannya tidak jelas dan gonta ganti tersebut, maka penyelesaiannya menjadi agak sulit. Bila gelandangan tersebut, masih mampu memberikan identitas dirinya (nama atau alamat) maka akan lebih mudah penyelesainnya. Pihak keluarga akan dihubungi dan dilibatkan dalam proses penyembuhannya.

Setelah selesai operasi di lapangan, maka tahapan berikutnya dilakukan ”pembersihan”, maksudnya para gelandangan yang terlihat lusuh, kumal, bau yang tak sedap akan dibersihkan. Bila gelandangan tersebut perempuan, akan ditangani oleh petugas perempuan, bila laki-laki akan ditangani oleh petugas laki-laki. Mula-mula mereka akan dimandikan. Jangan kaget, karena biasanya mereka ketakutan terhadap air. Sekalipun dimandikan di tengah cuaca yang cukup panas, mereka tetap merasa kedinginan. ”wedi, wedi”, sebuah teriakan dalam bahasa jawa yang sering terucap.

Apabila mereka telah selesai dimandikan, maka tahapan berikutnya adalah pemotongan rambut. Sekalipun tidak sekelas barber atau salon, tetapi para petugas ini cukup terampil dan terlatih untuk potong rambut. Dengan peralatan gunting dan sisir, rambut para gelandangan ini terlihat rapi. ”Ayo habis potong rambut langsung keramas”, kata petugas. Maka kegiatan selanjutnya berupa keramas, setelah itu, cukup, tidak akan dilanjutkan creambath, apalagi manicure-pedicure.

Nah, setelah mereka terlihat bersih, potongan rambut terlihat rapi, sudah tidak berbau lagi, maka mereka akan dikenakan pakaian yang bersih pula. Bukan pakaian baru, tetapi pakaian yang masih pantas pakai. Soal ukuran pakaian yang terlihat kedodoran dan sebainya, mohon dimaklumi karena pada saat operasi tersebut, stok pakaian yang ada tinggal ukuran yang segitu.

Siap sudah, gelandangan yang tadi tertangkap dalam keadaan kotor, lusuh, dan berbau untuk kemudian diserahkan pada SKPD lain untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kali ini, karena tidak ada keterangan (identitas) apapun dari mereka, selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan penanganan dari ahlinya.

Jangan salahkan mereka, karena jangan-jangan para perancang busana terkenal dunia, terinspirasi dari pakaian yang dikenakan para gelandangan, compang-camping, sobek dan bolong di sana-sini. Rekayasa dan cita rasa seni yang tinggi, atas nama ”mode” menjadikan nilai yang tinggi pula. Lihatlah di layar kaca, para peragawan peragawati kelas dunia berlenggak lenggok di catwalk dengan pakaian compang-camping, bolong-bolong berjalan genit ke kanan ke kiri. Sudah pasti mereka dibayar dengan harga tinggi untuk mengenakan pakaian itu. Para jet set dan artis kelas duniapun nggak malu mengenakannya. Dan yang pasti mereka tidak dimasukkan dalam kategori gelandangan dan sangat tidak mungkin ditangkap Satpol PP untuk mendapatkan proses rehabilitasi atau penyembuhan. Bila benar praduga tersebut benar, merekapun adalah sumber inspirasi juga. Walahualam...

1 komentar:

bagas mengatakan...

Salut untuk SATPOL karang anyAr,yang peduli pada gelandangan dengan penanganan yg "manusiawi"..mohon informasinya utk penanganan yg serupa di wonosobo..email bayusegara47@yahoo.co.id