Senin, 31 Mei 2010

LULUSAN DAN CORAT-CORET

Oleh : Drs. Bina Febrianto, MH.
(Kasi Tranmas Satpol. PP)


Senin, 26 April 2010 kira-kira mulai jam 14.00 Wib, sekelompok anak-anak SMA/SMK bergerombol di beberapa sudut kota. Mengendarai sepeda motor mereka mulai berkumpul sambil bersenda gurau ala anak muda. Hari ini adalah hari diumumkannya hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).
Di Kabupaten Karanganyar, hasil pengumuman akan dibagikan kepada orang tua/wali murid siswa. Sebagaimana biasanya, sekalipun hasil dibagikan tidak langsung kepada siswa, tetapi para siswa telah siap menunggu di seputaran sekolah. Mereka telah bersiap dan mempersiapkan “ritual” pasca pengumuman kelulusan. Cat semprot berwarna warni, aneka spidol besar, knalpot kendaraan yang siap memekakkan telinga adalah bagian dari perlengkapan mereka.
Belum saat pembagian hasil ujian, para siswa tersebut telah mulai beraksi. Baju putih telah berubah menjadi kanvas dengan lukisan abstrak yang beraneka warna. Tangan-tangan lincah mereka mulai menyemprotkan berbagai bentuk yang aneh. Ada juga bentuk-bentuk yang cukup indah, sekalipun lebih banyak yang asal semprot. Aneka tanda tangan dan bubuhan nama diri dari teman-teman telah tertulis di baju. Sebagian dari mereka malah mencompang-campingkan baju dan celana mereka. Tanpa sungkan dari mereka menyemprotkan ke arah rambut dan kepala, bahkan juga ke seluruh anggota tubuh. Inilah tradisi tahunan yang selalu muncul acapkali pengumuman kelulusan tiba.
Bila usai acara semprot-semprotan dan usai pula pengumuman dibagikan, tibalah acara selanjutnya. Mereka bergerombol, bersiap di atas kendaraan yang telah diplong knalpotnya. Reng.. reng .. auman suara kendaraan yang ditumpangi dua bahkan tiga pengendara mulai beraksi. Sudah bisa dipastikan mereka sebagian besar tidak mengenakan helm.
Sungguh unik memang, ritual tradisi tahunan ini. Pantauan yang dilakukan oleh Satpol PP. Kabupaten Karanganyar, tidak ada perbedaan yang berarti antara sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Di SMAN 1 Karanganyar, misalnya, sekolah favorit di Karanganyar, tradisi ini juga dijalankan. Di sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang cukup kecilpun, tradisi ini juga dilakukan.
Jika kita rasakan, apa yang telah mereka lakukan sebetulnya sah-sah saja. Lalu apa kaitannya dengan tugas Satpol PP?. Manakala para siswa tersebut, bercorat-coret ria dan berdandan ala punk hanya di dalam sekolah maka tidak akan banyak persoalan. Masalah muncul, karena mereka kemudian berkeliling kota sambil berjogat-joget di atas kendaraan. Bertindak seolah-olah merekalah pemilik jalan. Orang-orang “dipaksa” melihat kegembiraan mereka. Disinilah masalah muncul. Banyak tingkah laku mereka yang tidak layak dilakukan karena mengarah tindakan yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
Apa yang terjadi dalam ritual tradisi tahunan ini, merupakan fenomena sosial yang cukup menarik untuk ditelaah. Entah kapan sebenarnya tradisi ini mulai. Pada masa tahun 70-an pun, penyusun telah mengetahui kebiasaan ini. Agaknya kebiasaan ini merupakan warisan dari para senior-senior mereka. Barangkali apa yang dikenal dalam sosiologi sebagai perilaku imitasi tepat untuk digunakan untuk menelaah mereka. Meniru, yunior kepada senior. Apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh senior akan dilakukan pula oleh yuniornya pada saatnya. Nah, inilah rantai yang tiada putusnya, selalu berulang dan berulang lagi. Apalagi, bila tradisi ini ditimpangi dengan KESEMPATAN dan PELUANG. Kesempatan untuk melakukan tindakan corat-coret (kata Bang Napi kejahatan terjadi karena adanya kesempatan) dan peluang karena longgarnya pengawasan dan permisifitas masyarakat terhadap perilaku mereka.
Memutus rantai tradisi istilah keren yang seharusnya dilakukan. Mudah untuk diucapkan tetapi butuh keseriusan dan kebersamaan dari para stake holder yang berkaitan dengan pendidikan. Bila ini dilakukan secara serempak bersamaan di berbagai kabupaten/kota, maka kemungkinan besar kejadian ini tidak akan terulang. Tindakan di beberapa sekolah yang ketat dan tegas (sebagaimana diberitakan di mass media beberapa waktu lalu) hanya mampu meredam tindakan ini di tingkat lokal sekolah saja. Sementara di bagian besar sekolah yang lain masih terjadi kegiatan seperti ini.
Beberapa analisa yang bisa dikemukakan bersumber dari beberapa siswa yang menyatakan, pertama mereka telah melampaui masa-masa yang menyesakkan, karena harus belajar dan harus mampu melalui serangkaian tes berupa ujian yang diadakan secara nasional. Mereka menganggap telah berjuang selama lebih kurang 3 tahun untuk menyelesaikan studinya. Mereka harus datang pagi, pulang siang/sore, masih harus mengerjakan berbagai tugas dan pekerjaan rumah. Inilah hasil perjuangan. (catatan: aneh ya orang sekolah itu kan untuk cari ilmu dan selembar ijasah hanya bukti formal saja. Jadi jika ia sudah dapat ilmu pasti dapat juga bukti formalnya.Dengan demikian kalau lulus ya wajar, nggak lulus-pun ya wajar, karena pilihannya hanya lulus dan tidak lulus. Lagian sekarang kan enak wong gak lulus juga masih bisa ngulang lagi. Gitu aja kok repot)
Kedua, konon masa SMA merupakan masa yang sungguh menyenangkan. Penuh dengan romantika. Tidak heran banyak kejadian terjadi pada masa ini, sehingga menginspirasi beberapa seniman membuat karyanya. Film ”Gita Cinta dari SMA”, misalnya, film yang diangkat dari novel, merupakan film yang mengekspresikan kehidupan pada masa SMA. Ada juga lagu ”kisah kasih di sekolah”-nya Obbi Messakh merupakan lagu yang mengisahkan percintaan remaja SMA. Dua contoh di atas, meski agak jadul menggambarkan betapa indahnya masa SMA. Nah, bila masa tersebut harus ditinggalkan, maka mereka berusaha membuat kenangan. Kenangan-kenangan tersebut diekspresikan melalui coretan di baju teman-temannya. Melalui baju ada goresan kenangan bak sebuah prasasti.
Ketiga, para siswa melakukan ini merupakan sebuah tindakan yang melambangkan kemerdekaan. Merdeka karena setelah beberapa tahapan pendidikan telah terlampaui. Mulai SD, SMP, kemudian SMA/SMK. Merdeka karena telah sekian tahun harus mengenakan seragam yang diwajibkan sekolah. Mulai putih-merah hati, putih-biru, dan kemudian putih abu-abu. Para siswa akan memasuki dunia orang dewasa. Dunia yang tidak terbelenggu oleh seragam. Entah siswa tersebut masuk kerja atau kuliah umumnya tidak lagi dibatasi oleh seragam. Dunia kerja ataupun dunia mahasiswa sudah dianggap dunianya orang dewasa. Seakan-akan momen ini merupakan masa pelepasan dari masa remaja ke masa dewasa. Corat-coret merupakan proklamasi ditinggalkannya masa remaja mereka.
Beberapa pola yang bisa dilakukan guna mencegah tindakan para siswa ini adalah:
1. Pengumuman dilakukan pada sore hari diberikan kepada orang tua/wali murid, sebagaimana dilakukan kemarin di Karanganyar. Tindakan ini hanya mampu mengurangi waktu para siswa untuk berkelilingmogleng-mogleng keliling kota. Makin sore pengumuman, maka kesempatan mereka keliling-keliling dibatasi oleh kegelapan malam yang segera menjelang.
2. Pengumuman dilakukan lewat pos, sehingga pengumuman tidak datang pada waktu bersamaan (tergantung alamat siswa dan kecepatan pihak pos). Dengan waktu penerimaan yang berbeda sehingga “kegembiraan” tidak dirasakan pada waktu yang bersamaan.
3. Sehari sebelum pengumuman, para siswa diwajibkan menyumbangkan seragam sekolahnya, disimpan di sekolah untuk diberikan kepada orang-orang yang memang membutuhkan. Bila seragam telah diserahkan, maka tidak ada lagi seragam yang dicorat-coret. (beberapa sekolah pernah melakukan tindakan ini, namun dikoordinasikan oleh siswa, jadi bukan suatu keharusan/kewajiban yang diwajibkan pihak sekolah).
4. Kegiatan no. 3 tadi akan lebih efektif, manakala pada saat pengumuman diadakan juga kegiatan tambahan (tanpa seragam sekolah karena sudah disumbangkan), misalnya : bakti sekolah, para calon lulusan diminta untuk membersihkan sekolah agar terlihat bersih, atau diadakan donor darah.
Sebenarnya pola ini telah dilakukan di beberapa sekolah, sayangnya belum menyeluruh, hanya parsial. Kejadian corat-coret sendiri bila diamati sebagaimana telah disampaikan di atas, tidaklah mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Hanya bagi sebagian orang berasa risih saja. Justru yang menakutkan adalah bila para siswa tersebut, mengekspresikan kegembiraannya dengan jalan berkelling kota sambil menari dan meraung-raungkan kendaraannya. Mereka ”memaksa” orang lain untuk ikut merasakan kegembiraannya. Dengan kendaraan memekakkan telinga, ditumpangi dua atau tiga orang, berjejer tiga atau empat untuk memenuhi jalan. Nah, disinilah masalahnya. Masyarakat menjadi terganggu ketentramannya.
Di Karanganyar, kejadian ini masih cukup terbatas. Di beberapa sudut kota, mereka juga telah mempersiapkan. Waktu yang relatif pendek, penjagaan yang relatif baik, melibatkan semua unsur (Kepolisian, Satpol PP, Kodim), memperkecil peluang tersebut. Namun demikian, meski dalam skala kecil selalu saja ada yang tetap melakukannya.
Tinggal kita seluruh warga Karanganyar menyikapinya. Tidaklah fair, bila hanya menggantungkan pada aparat keamanan semata. Butuh kepedulian semua pihak untuk mengatasinya. Jangan hanya menyalahkan mereka saja. Mereka generasi yang akan melanjutkan estafet kehidupan kita. Jangan ajari mereka dengan hal yang buruk. Lihatlah pada saat kampanye Pemilu. Pesera kampanye berkeliling dengan kendaraan yang meraung-raung, menari-nari, kostum tubuh yang coreng moreng, memenuhi jalan agar orang lain tidak bisa lewat. Bukankah para pemimpin kita telah memberi teladan yang buruk buat mereka?. Tidakkah sama apa yang siswa lakukan dengan yang dilakukan or ang orang tua mereka?. Bila kita mengamini hal ini. Segera berubahlah yang tua dulu, pasti yang lebih muda akan mengikutinya. Selamatkan generasi muda aset dari negeri ini.

BACA SELANJUTNYA...